Karate di Indonesia
Karate masuk di Indonesia bukan dibawa oleh Tentara Jepang, melainkan oleh Mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang kembali ke tanah air, setelah mereka menyelesaikan pendidikannya di Jepang. Tahun 1963 beberapa mahasiswa Indonesia antara lain; Baud Adikusumo, Muchtar dan Karyanto mendirikan Dojo di Jakarta. Mereka inilah yang mula-mula memperkenalkan Karate (aliran Shotokan) di Indonesia, dan kemudian mereka membentuk wadah yang mereka namakan PORKI. Beberapa tahun kemudian berdatangan eks Mahasiswa Indonesia dari Jepang seperti; Setyo Haryono (Pendiri Gojukai), Anton Lesiangi, Sabeth Muchsin dan Chairul Taman yang turut mengembangkan
Karate di tanah air.
Disamping eks Mahasiswa-mahasiswa tersebut diatas orang-orang Jepang yang datang ke Indonesiadalam rangka usaha telah pula ikut memberikan warna bagi perkembangan Karate di Indonesia, mereka-mereka ini antara lain Matsusaki (Kushin-Ryu 1966), Ishi (Goju-Ryu 1969), Hayashi (Shitoryu 1971) dan Oyama (Kyokushinkai 1967).
Karate ternyata memperoleh banyak penggemar, yang implementasinya terlihat muncul dari berbagai macam organisasi (pengurus) Karate, dengan berbagai aliran seperti yang dianut oleh masing-masing pendiri perguruan. Banyaknya perguruan Karate dengan berbagai aliran menyebabkan terjadinya ketidak cocokan diantara para tokoh tersebut,sehingga menimbulkan perpecahan di dalam tubuh PORKI. Namun akhirnya dengan adanya kesepakatan dari para tokoh-tokoh Karate untuk kembali bersatu dalam upaya mengembangkan Karate di tanah air, sehingga pada tahun 1972 terbentuklah satu wadah organisasi Karate yang diberi nama FORKI (Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia). Walaupun dalam perjalanannya harus menghadapi berbagai rintangan dan hambatan.
Adapun mereka yang pernah menduduki jabatan sebagai Ketua Umum FORKI sejak tahun 1972 sampai dengan saat ini adalah:
1. Widjojo Sujono (1972-1977)
2. Sumadi (1977-1980)
3. Subhan Djajaatmaja (1980-1984)
4. Rudini (1984-1997)
5. Wiranto (1997-2001)
6. Luhut B. Pandjaitan (2001-sekarang)
Karate masuk di Indonesia bukan dibawa oleh Tentara Jepang, melainkan oleh Mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang kembali ke tanah air, setelah mereka menyelesaikan pendidikannya di Jepang. Tahun 1963 beberapa mahasiswa Indonesia antara lain; Baud Adikusumo, Muchtar dan Karyanto mendirikan Dojo di Jakarta. Mereka inilah yang mula-mula memperkenalkan Karate (aliran Shotokan) di Indonesia, dan kemudian mereka membentuk wadah yang mereka namakan PORKI. Beberapa tahun kemudian berdatangan eks Mahasiswa Indonesia dari Jepang seperti; Setyo Haryono (Pendiri Gojukai), Anton Lesiangi, Sabeth Muchsin dan Chairul Taman yang turut mengembangkan
Karate di tanah air.
Disamping eks Mahasiswa-mahasiswa tersebut diatas orang-orang Jepang yang datang ke Indonesiadalam rangka usaha telah pula ikut memberikan warna bagi perkembangan Karate di Indonesia, mereka-mereka ini antara lain Matsusaki (Kushin-Ryu 1966), Ishi (Goju-Ryu 1969), Hayashi (Shitoryu 1971) dan Oyama (Kyokushinkai 1967).
Karate ternyata memperoleh banyak penggemar, yang implementasinya terlihat muncul dari berbagai macam organisasi (pengurus) Karate, dengan berbagai aliran seperti yang dianut oleh masing-masing pendiri perguruan. Banyaknya perguruan Karate dengan berbagai aliran menyebabkan terjadinya ketidak cocokan diantara para tokoh tersebut,sehingga menimbulkan perpecahan di dalam tubuh PORKI. Namun akhirnya dengan adanya kesepakatan dari para tokoh-tokoh Karate untuk kembali bersatu dalam upaya mengembangkan Karate di tanah air, sehingga pada tahun 1972 terbentuklah satu wadah organisasi Karate yang diberi nama FORKI (Federasi Olahraga Karate-Do Indonesia). Walaupun dalam perjalanannya harus menghadapi berbagai rintangan dan hambatan.
Adapun mereka yang pernah menduduki jabatan sebagai Ketua Umum FORKI sejak tahun 1972 sampai dengan saat ini adalah:
1. Widjojo Sujono (1972-1977)
2. Sumadi (1977-1980)
3. Subhan Djajaatmaja (1980-1984)
4. Rudini (1984-1997)
5. Wiranto (1997-2001)
6. Luhut B. Pandjaitan (2001-sekarang)
0 komentar:
Posting Komentar
Silahkan Anda berkomentar, namun tetap jaga kode etik dan menghindari spam